RSBI/SBI Sebuah Praktik Pendidikan Diskriminatif


Dalam dunia yang semakin global dan pergaulan yang semakin inklusif selayaknya pemerintah tidak membangun ekskluisfitas dalam pendidikan. Bahkan pendidikan sebagai lembaga akademis seharusnya menjadi agen perubahan nilai-nilai universal dan bukan menumbuh suburkan ekslusifitas.
Dan sekolah merupakan duplikasi masyarakat. Karena itu sekolah harus menjadi pusat belajar dan bersosialisasi dalam masyarakat. Dengan demikian jika masyarkat semakin inklusif, maka sekolah harus semakin inklusif pula.
Tuntutan perubahan dalam dunia pendidikan terjadi atas fleksibilitas dan keterbukaan, juga kesediaan untuk berbagi bukan berkompetisi. Melaksanakan perubahan dalam pendidikan melipuiti prubahan sikap stake holder pendidikan terhadap keragaman dalam kelompok belajar, memandang keragaman sebagai suatu pengayaan dibanding hambatan. 
Dengan demikian sekolah harus memperhatikan prinsip normalisasi kehidupan bermasyarakat. Prinsip normalisasi menurut Prof. Miriam Donath Skjǿrten (Project Education Manager, University of Oslo) berarti bahwa suatu masyarakat normal ditandai dengan keragaman dan bukan kesamaan. Ini berarati bahwa normal bagi setiap kelompok masyarakat untuk mempunyai anggota yang mungkin tidak dapat melihat, tidak dapat mendengar, berpikir lambat. Atau mempuanyai anggota masyarakat tidak dapat mengikuti pembelajaran sehari-hari karena alasan kesulitan  ekonomi atau masalah sosial lainnya.
Sangat ironis, memang ketika dunia sedang mengembangkan nilai-nilai inklusif pemerintah justeru membangun ekskluivisme melaui program Rintisan Sekolah Berstandar Internasional /Sekolah Berstandar Internasional. Dimana anak dikelompokan atas dasar kemamapuan tertentu kemudian dipisah dari kelompoknya untuk diberikan pelayanan secara khusus bahkan cenderung membangun pergaulan yang eksklusif pula. Pola diskriminatif seperti ini tidak mengajarkan kepada anak bagaimana hidup di dalam masyarakat yang beragam. Seharusnya sekolah memberikan kesempatan kepada ”semua anak dapat belajar bersama untuk selanjutnya dapat hidup bersama dalam masyarakat yang inklusif” (Fasli Jalal).
Pola pendidikan dengan model RSBI/SBI bukan sekedar tidak demokratis tapi juga tidak adil. Karena sesungguhnya apabila mengacu kepada  Howard Gardner Seorang pakar pendidikan penemu multiple intelegence mengatakan, “Setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda, Kecerdasan tersebut adalah kecerdasan spasial-visual (cerdas dalam menggambar atau membayangkan), linguistik verbal (cerdas dalam berkata-kata atau berbahasa). Kecerdasan interpersonal (cerdas dalam berinteraksi dengan sesama), kecerdasan musikal-ritmik (cerdas dalam bernyanyi dan memainkan alat musik), kecerdasan naturalis (cerdas dalam berhubungan dengan alam dan isinya). Kecerdasan badan (kinestetis)-cerdas dalam berolah raga dan menari, kecerdasan intrapersonal (cerdas dalam memahami diri atau merenung), dan kecersdasan logis matematis (cerdas dalam berhitung)”.
Dengan demikian tugas sekolah adalah untuk membantu anak mengaktualisasikan ragam potensi anak didik. Tetapi realitasnya justeru pemerintah dengan program RSBI/SBI yang ada saat ini tengah mengabaikan beragam potensi tersebut. Sekolah tidak memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengembang kecerdasannya terutama yang memiliki kecerdasan seperti spasial-visual, musikal ritmik, kinestik dsb.
Model RSBI/SBI yang ada saat ini, hanya siswa yang memiliki kemampuan akademis (kecerdasan Intlektual/IQ) saja yang dapat dikembangkan kecerdasannya secara optimal. Sementara yang lain akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dan membina kecerdasannya. Bahkan sebaliknya dengan pola RSBI/SBI bisa mematikan potensi mereka yang beragam. Padahal kita tahu bahwa setiap anak mempunyai bakat dan minat alamiah yang berbeda-beda.
Oleh karena itu konsep RSBI/SBI seharusnya mengacu kepada kemampuan sekolah untuk mengakomodir dan mengembangkan seluruh potensi kecerdasan peserta didik di sekolah tersebut secara adil dan merata.

Komentar

Posting Komentar