Potret Buram Masyarakat NTB



Potret Buram Masyarakat NTB1
Sebuah Deskripsi Realita


            Apabila diklasifikasikan berdasarkan kemampuan ekonominya, masyarakat Nusa Tenggara Barat dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok masyarakat kaya yang di dominasi oleh mereka yang sedang menjabat baik di legislatif maupun didalam birokrasi serta para pengusaha. Yang menjabat di dalam birokrasi itu seperti para pimpinan instansi dinas /badan,  kepala-kepala bagian strategis, bagian keuangan/ bendahara, pimpinan proyek, dan posisi-posisi strategis lain yang dikenal sebagai posisi basah dalam suatu instansi. Sementara pengusaha yang masuk dalam kelompok kaya pada umumnya adalah mereka yang memiliki usaha dan sekaligus memiliki hubungan kekeluargaa/kekerabatan dengan para pejabat atau mereka yang memiliki akses kepada para pejabat birokrasi pemerintahan.Sedangkan pengusaha murni yang kaya karena etos kerjanya serta mengandalkan kemapuan sendiri jumlahnya relatif amat kecil.
Kelompok yang ke dua adalah kelompok menengah yang didominasi oleh Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kegiatan usaha lain di luar PNS, sehingga mendapat tambahan penghasilan yang lebih besar dari gaji PNS. Mereka ini sebenarnya hanya PNS yang tidak memegang jabatan atau mamiliki jabatan rendahan saja. Tetapi kegiatan/bidang usahanya kadang cenderung berkaitan dengan posisinya sebagai PNS, sehingga suatu waktu ia dapat memanfaatkan posisinya tersebut untuk kepentingan usahanya.Yang termasuk dalam kelompok menengah ini juga terdiri dari para dokter yang pada umumnya sudah senior serta memiliki usaha penjualan obat.
Sedangkan kelompok ke tiga adalah kelompok rakyat miskin, yang merupakan kebanyakan masyarakat NTB. Gambaran kehidupan ekonomi masyarakat Nusa Tenggara Barat masih didominasi oleh masyarakat kelompok ini. Sebagian terbesar,kelompok masyarakat ekonomi lemah ini, mengandalkan kehidupan pada bidang pertanian, sebagian lagi pada kegiatan usaha bakulan, pedagang kaki lima, buruh kerja, TKI (buruh migran). Mereka pada umumnya masih menggantungkan usahanya pada pinjaman dari rentenir, bank-bank kecil dan koperasi dengan bunga besar. Dalam arti kemampuan mengembalikan modal lebih rendah dari bunga pinjaman. Ketergantungan pada sistem bank konvensional, sistem Pegadaian dan sistem "Ijon"  dari rentenir membuat perubahan kehidupan ekonomi masyarakat kelompok ini beregerak di tempat dan bahkan sistem "Ijon" ini dapat mematikan kegiatan ekonomi masyarakat kelompok ini.
            Kelompok rakyat miskin ini semakin banyak jumlahnya seiring meningkatnya jumlah pengangguran. Terbatasnya lapangan pekerjaan juga telah membuat lembaga pendidikan SMK dan Perguruan Tinggi hanya ikut menambah pengangguran. Di tambah lagi dengan lulusan SMA/MA yang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, menambah  jumlah pengangguran semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun sudah berkali-kali terjadi pergantian gubernur, bupati/wali kota di daerah ini namun belum satupun yang dapat mengimplementasikan solusi efektif mengatasi masalah pengangguran. Janji politik dalam setiap kampanye pemilukada untuk mengatasi masalah pengangguran tidak pernah menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, salah satu alternatif usaha terhindar dari sikap ketergantungan dan sifat destruktif yang merupakan kecenderungan sebagai pengangguran, banyak dari masyarakat NTB terutama generasi muda  pergi ke luar negeri sebagai buruh migran ke luar negeri. Akan tetapi ironisnya, sebagian  diantaranya pergi secara ilegal oleh karena berbagai alasan, meski dengan resiko yang nyata di depan mata. Diantaranya karena prosedur birokrasi yang berbelit, mahal dan cenderung mempersulit, tidak adanya jaminan (kepastian hukum) meskipun mengikuti prosedur, dsb. Karena untuk mendapatkan pelayanan dalam birokrasi cenderung berbiaya tinggi.           
Sementara itu, hampir dalam seluruh lapisan masyarakat sudah terbentuk pemikiran bahwa, korupsi dengan cara mark up, pungli, suap, adalah cara yang masih berlaku dalam birokrasi kita dan bahkan dalam dunia usaha skalipun. Demikian juga untuk menjadi PNS maupun untuk memperoleh kedudukan atau posisi di dalam birokrasi akan sulit diperoleh tanpa KKN.  Apalagi jelas di depan mata kita dan bahkan semakin lumrah bahwa,di era otonomi daerah ini dalam setiap pergantian posisi, atau jabatan lebih bernuansa politik balas dendam ketimbang sebagai pembinaan karir.
            Sudah menjadi rahasia umum bahwa, hampir mustahil seorang kontraktor mendapat proyek atau memenangkan tender di instansi pemerintah tanpa menyediakan/siap membayar sejumlah komisi kepada sejumlah orang di dalam instansi tersebut. Kecuali untuk kepentingan balas budi kepada mereka yang turut serta dalam proses pemenangan pilakada/pileg/pilpres.Dan sudah jamak bagi mereka (para pemenang tender) untuk menyisihkan sejumlah uang untuk memperlancar segala urusan termasuk agar pekerjaannya dianggap laik.
Konsep jaringan kerjasama dalam sebuah proyek pemerintah yang paling rasional dan smooth (tanpa hambatan) yang berlaku saat ini, agar terhindar dari jeratan hukum adalah kerjasama triparty antara Pengatur (pemerintah), Pengawas (DPR), dan Pengusaha /Kontraktor (pelaksana). Oleh karena itu, sudah menjadi rahasia umum kalau para anggota Dewan turut dilobi oleh para pejabat birokrat untuk segera menyetujui anggaran proyek tertentu. Atau sebaliknya oknum anggota dewan melobi pejabat birokrat untuk menyetujui pengusaha tertentu sebagai pemenang tender suatu proyek.
Demikian juga anak-anak mereka dari keluarga/kerabat para pejabat, dan para anggota dewan dapat seenaknya menduduki posisi tertentu yang diinginkan baik di birokrasi, partai politik, maupun di badan-badan usaha. Sementara sebagian besar rakyat tidak mampu bersaing untuk memperoleh pekerjaan yang layak dalam sistem yang bermuara pada pola Korupsi Kolusi dan Nepotisme itu.
Meski KPK telah banyak menangkap para pejabat yang korup, namun para pelaku korupsi masih saja berani melakukannya, sehingga tindakan KPK tersebut terkesan tidak memiliki efek jera terhadap para koruptor, apalagi untuk ukuran daerah Nusa Tenggara Barat yang masih relatif jauh dari jangkauan KPK. Sementara kepercayaan masyarakat daerah NTB terhadap kepolisian sebagai lembaga penegak hukum masih diragukan seiring dengan masih banyaknya oknum kepolisian yang belum bersih dari prilaku korup. Di samping itu, tidak sedikit jaksa yang sengaja melakukan praktik pemerasan kepada para pihak yang terbelit masalah hukum untuk terbebas dari jeratan hukum. Lagipula, sudah banyak bukti bahwa  hakim yang memutuskan perkara juga tidak berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya, tetapi lebih cenderung berdasarkan KKN.
Dan sudah jamak, kalau mau mengatasi masalah jeratan hukum di daerah ini seorang koruptor cukup menyisihkan sebagian saja hasil korupsinya kepada para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan apabila diperlukan juga kepada wartawan agar kasusnya tidak dibocorkan melalui media. Dan sebagian sisa hasil korupsinya,bisa dibawa ke pondok-pondok pesantren sebagai sumbangan, hitung-hitung jadi modal menghadapi pemilu tahun depan. Maka para koruptor dido'akan dimana-mana oleh para Tuan Guru agar segera dapat menduduki jabatan wakil rakyat pada pemilu legislatif tahun depan.
Namun dewasa ini, Tuan guru yang dulunya sering kita harapkan mendoakan kita untuk mendapatkan posisi tertentu atau untuk mendapatkan keselamatan dalam memegang jabatan tertentu, termasuk sebagai anggota dewan karena doanya kita anggap sering diijabah oleh Alaah SWT, kini justeru menjadi pemain dan saingan bagi kita dalam merebut posisi sebagai wakil rakyat. Dan ironisnya, Tuan guru sekarang bukan merupakan gelar penghargaan oleh rakyat, oleh karena keulamaan dan kesalehannya, tetapi cukup dengan menuliskan hurup TGH di depan namanya dan dipampang bersma potonya sebagai calon anggota legislatif di dapil tertentu, maka jadilah ia seorang tuan guru.
Banyak calon anggota dewan baik di propinsi maupun kabupaten/ kota menyebut dirinya sebagai tuan guru,  seiring dengan keberhasilan TGB meraih kepercayaan masyarakat sebagai Gubernur di daerah ini. Adakah hal tersebut memiliki hubungan kausalitas? Wallahuallamubissawab.

Komentar