Syariat politik?


MAKANLAH BILA LAPAR DAN BERHENTI SEBELUM KENYANG
Syariat politik dan kekuasaan?
Banyak orang kaya dan mampu mendapatkan makanan kapan saja dan dimana saja, namun demikian sebagai seorang ummat beragama yang baik tidak serta-merta ia harus memakannya. Ia disunnahkan oleh rasulullah untuk menunda memakannya sampai ia merasa lapar.  Di samping itu banyak juga orang yang memiliki makanan cukup banyak, sejumlah lebih dari kermampuan ia makan, tetapi tidak serta-merta ia harus makan sepuas-puasnya sekenyang-kenyangnya, ia juga disunnahkan untuk berhenti makan sebelum kenyang.
Meskipun sunnah nabi ini hanya terkait dengan syariat makan yang baik dan tidak direlevansikan dengan aspek ilmu kedokteran, namun diyakini memiliki implikasi bagi kesehatan manusia. Bahkan dalam aspek sosial bila tidak menjalankan syariat ini mengindikasikan sifat manusia yang tidak lebih dari seekor binatang yang rakus memakan apa saja, dimana saja sebanyak yang ia suka, na’uzubullahiminzaaliq.
Sunnah ini jika boleh ditarik ke wilayah politik dan kekuasaan, maka realitas sesungguhnya tidak jauh beda dengan kecenderungan manusia untuk berkuasa sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya.  Apakah hal ini juga dapat diyakini memiliki impklikasi terhadap kesehatan politik dan kekuasaan?
Dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia misalnya, baik pada masa orde lama, orde reformasi maupun pada dekade terakhir ini terutama pasca reformasi, kecenderungan orang untuk terus menerus berkuasa bahkan hampir tidak ada orang yang mau berhenti berkuasa sebelun kenyang. Mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati bahkan sampai kepala dusun, senantiasa ingin kembali berkuasa selama ia masih hidup, tidak pandang kondisi pisik maupun usia yang sudah tua. Demikian juga tidak kenal latar belakang militer, kiai, birokrat maupun sipil biasa.
Pada masa orde lama presiden Sukarno seakan tidak mau berhenti jadi presiden sehingga ada istilah presiden seumur hidup. Selanjutrnya pada masa orde baru, presiden suharto meskipun sudah berkuasa selama 32 tahun dalam usia yang sudah renta masih juga ingin kembali  berkuasa. Dan Almarhum Gusdur yang berlatar belakang kiai masih juga ingin berkuasa pasca dilengserkan oleh Amin rais dan kawan-kawan anggota MPR melalui impeachmen. Megawati, seorang wanita satu-satunya yang pernah menjadi presiden di Indonesia sampai pilpres terakhir masih mencalonkan diri untuk kembali berkuasa di Indonesia. SBY, yang sekarang menduduki jabatan presiden untuk yang ke dua kalinya seakan tak mau berhenti jika dibolehkan pada tahun 2014 nanti untukmencalonkan diri.
Selanjutnya apabila kita tarik persoalan ini ke daerah kita Nusa Tenggara Barat, hampir semua gubernur yang sudah berkuasa pada masa orde baru senantiasa ingin berkuasa terus. Bahkan pada masa masa reformasi ini indikasinya terlihat mereka (gubernur yang sudah dan sedang berkuasa) tidak bisa puas (kenyang) dengan 1 periode dengan mencalonkan diri kembali untuk menjadi gubernur pada periode berikutnya dengan berbagai alasan pembenar.  Demikian juga Bupati yang pernah berkuasa di seluruh NTB ini tidak ada yang puas menuduki jabatannya untuk satu periode. Adakah ini sebagai indikasi belum kenyang kekuasaan? Atau mungkin merasa belum mulai makan kekuasaan?
Al-hasil hampir semua bupati dan gubernur di daerah ini sentiasa dilengserkan oleh rakyat, karena yang lebih dulu kenyang dengan kekuasaannya ternyata adalah rakyat.
Akankah ini dapat menjadi peringatan dini bagi siapa saja yang sedang berkuasa saat ini Baik ia seorang presiden, gubernur, bupati maupun kepala desa? Wallahuallamubissawab.

Komentar